Berita

Problematika Bentuk dan Perwujudan Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia

Pada bulan Juli 2007, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang mengenalkan peraturan perundangan mengenai corporate social responsibility (CSR) di dunia, memastikan adanya legal framework bagi korporasi untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya (Rosser dan Edwin, 2010). Kerangka legal CSR ini ditetapkan dalam UU nomor 40 tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas. Dalam peraturan tersebut, CSR didefinisikan sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan, yaitu komitmen perseroan untuk berperan dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan tersendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Kewajiban ini mengikat khususnya pada perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang ekstraksi dan pengolahan sumber daya alam.

Dalam implementasinya, masih banyak perusahaan yang cenderung enggan untuk menjalankan program-program CSR. Hal ini dikarenakan banyak perusahaan yang menganggap CSR sebagai pengeluaran ekstra yang tidak menguntungkan dalam jangka pendek. CSR juga mengharuskan perusahaan untuk mengalokasikan sumber dayanya dalam implementasi dan pengelolaan program CSR tersebut. Di sisi lain, terdapat pula perusahaan yang kurang paham akan program CSR, sehingga tidak melakukannya. Sikap ini cenderung terjadi pada perusahaan tradisional yang belum mampu menyesuaikan terhadap akuntabilitas lingkungan dan masyarakat.

Hal berbeda dapat diamati pada banyak perusahaan-perusahaan modern maupun BUMN yang menyadari relevansi program CSR sebagai investasi. CSR diperankan sebagai investasi, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap hubungan masyarakat sebagai pangsa pasar yang ditarget oleh perusahaan tersebut (Siregar, 2007). Hal ini tentunya dapat meningkatkan pamor perusahaan sebagai bentuk kampanye public image yang juga memuaskan investor yang peduli pada citra investasinya. Oleh karena itu, mulai terdapat pergeseran sikap terhadap CSR dalam perusahaan dalam implementasinya.

Di tengah isu krisis iklim yang relevansinya kian semakin meningkat, CSR menjadi topik perdebatan yang panas bagi para aktivis perubahan iklim. CSR bukan hanya menjadi kewajiban  sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan yang sumberdaya alamnya diekstraksi, tetapi kini digadang-gadang sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap dampaknya pada iklim (Allen dan Craig, 2016). Salah satunya dengan indikator emisi karbon maupun kerusakan ekologis yang diakibatkan oleh operasional perusahaan tersebut. Dalam implementasinya, pengamat lingkungan dan aktivis kini pun mempertanyakan bukti nyata dari pertanggungjawaban dan akuntabilitas perusahaan atas kewajiban CSR-nya yang harus dipenuhi (Waagstein, 2011).

Salah satu perusahaan yang gencar dalam pelaksanaan program CSR adalah PT. OSS site Morosi yang bergerak yang bergerak di bidang smelter nikel yang terletak di Kecamatan Morosi. Di antara berbagai program yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, salah satunya adalah program bantuan biaya pendidikan berupa beasiswa kelas unggulan boarding school di salah satu sekolah menegah pertama di kecamatan morosi di kabupaten Konawe. Pada tahun 2024, tercatat terdapat 36 siswa yang diterima dalam program ini, dengan asal dari Provinsi sulawesi tenggara (babel.antaranews, 2024). Selain program tersebut, terdapat pula program bantuan dana langsung yang diberikan umumnya pada masyarakat miskin yang mendapat perhatian perusahaan, diberikan sesekali pada penutupan masa penambangan.

Meskipun panjangnya sejarah program tersebut, banyak pula kritik terhadap program tersebut. Salah satunya adalah terbatasnya lingkup pelaksanaan program yang hanya membukanya untuk program studi IPA dan pada jenjang SMA. Pelaksanaan program yang hanya berada di satu sekolah di desa porara juga cenderung dirasa kurang merata, disertai dengan kuota program yang sedikit. Hal ini dibarengi dengan kabar bahwa PT. OSS site Morosi meraup laba bersih hingga lebih dari ratusan miliar rupiah pada tahun 2023. Program bantuan dana langsung juga dikritik tidak mengentaskan kemiskinan secara struktural, sementara banyak penduduk sulawesi tenggara yang dikontrak sebagai buruh berupah rendah untuk penimbangan nikel.

Aktivitas penambangan nikel hampir di seluruh kabupaten konawe kebanyakan dilakukan secara ilegal. Maraknya aktivitas penambangan secara ilegal ini bermula dari kebijakan pemerintah daerah untuk membantu masyarakat pada masa krisis ekonomi dengan mengizinkan usaha tambang dengan alat sederhana (tambang inkonvensional), tetapi pada akhirnya praktik ini terus berlanjut hingga kini (Pirwanda, F., & Pirngadie, B, 2015).

Berdasarkan paparan tersebut, luasnya lingkup implementasi CSR menyebabkan masih ambigunya bentuk-bentuk programnya. Hal ini berisiko membuat CSR hanya sebagai outlet bagi perusahaan untuk ‘bagi-bagi uang’ untuk memperbaiki citranya tanpa memperhatikan kondisi lingkungan dan masyarakat yang seharusnya dipertanggungjawabkan. Rumitnya birokrasi dan besarnya kepentingan politis akan kontrol sumber daya alam oleh korporasi besar juga mengakibatkan terhambatnya program CSR. Oleh karena itu, program CSR cenderung tidak tepat sasaran terhadap masyarakat maupun lingkungan yang terdampak.

Oleh Wa Ode Agustina